Apa
yang terjadi?
Kau
menenggelamkannya, padahal ia masih bernapas,
Tidak!
Tepatnya,
ia masih ingin bernapas.
Apa
yang telah kau lakukan?
Bahkan
mereka berteriak padamu
“dia
masih bernapas! Hentikan!”
Tapi
kau sama sekali tak mendengarkan.
Kau
terus saja menenggelamkannya dengan raut wajahmu yang tak biasa itu.
Ada
seringai dibibirmu,
Matamu
terlihat begitu berkobar,
Tubuhmu
mendidih.
Kurasakan
itu...
Aku
melihatnya...
Saat
tanganmu terus mendorongnya lebih dalam lagi,
Agar
ia semakin tenggelam hingga dasar keputus asaan.
Apakah
itu kebencian?
Mengapa
kau membencinya?
Apa
yang salah?
Siapa
yang salah?
Kau..
Ya...
itu kau..
Orang
yang merampas haknya untuk hidup di dalam hatimu.
Ya..
itu kau..
Kau
lah satu-satunya orang yang pandai melakukannya.
Kau
membunuh rasa-nya.
Kau
mengatas namakan rasa karena membuatmu tak bisa menempatkan cinta sebanding
dengan logika.
Baiklah..
itu hakmu..
Tapi
sadarkah kau..
Yang
telah kau lakukan itu menunjukan bahwa kau memang tak memiliki cinta bahkan
logika.
Mungkin
itu telah puaskan dahagamu,
Terhadap
semua cinta yang telah membuat kepalamu terbakar.
Cintamu
itu telah membekukan otak dan hatimu,
Sehingga
kau tak mampu menggunakan pikiran dan perasaanmu untuk melihat apa yang ia rasa
untukmu..
Logikamu..
Bukan
kau tak bisa gunakan logikamu saat betemu dengannya.
Hanya
saja kau sendiri yang membuatnya kacau dan berserakan kemana-mana.
Kau
takut bila suatu hari rasa itu tak lagi sama.
Kau
memilih membunuhnya.
Mengapa
kau tak memilih untuk terus menabur bumbu cinta?
Agar
rasa itu tetap sama atau bahkan akan terasa lebih gurih.
Kau
telah tentukan pilihanmu.
Kau
memilih hidup tanpanya,
Dengan
cara menghancurkan rasanya dan rasamu.
Kau
telah binasakan seluruh hatinya dan hatimu.
Terlihat
jelas itu adalah egomu.
Yang
kau pikirkan hanyalah sakitmu, lukamu, dan dukamu sendiri.
Bila
kau merasa hancur setelah membunuhnya, tahukah kau?
Bahwa
ia telah merasa lenyap, binasa, hampa, mati,
Dan
seluruh serpihannya telah habis disapu oleh angin kenangan.
Dengan
semua pilihanmu, ia pun menentukan pilihannya.
Ia
tak akan ikut membunuh rasamu.
Ia
memilih untuk mengalah, layu, mati,
Dan
kebali hidup untuk rasa yang berbeda.
Palangkaraya, 23 Januari 2015
©Dyah Ayu Pramoda Wardani
(DAPW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar